400
700
900
Tafsir Kebahagiaan
KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat, MSc

Tafsir Kebahagiaan

Pesan Al-Quran Menyikapi Kesulitan Hidup

Serambi (Apr 2010)
I
9789790241992
| Softcover
201 pages | 2329 x 3297 mm | Indonesia | Indonesia

Genre

  • Psikologi
  • Tafsir

Subject

  • Tafsir

Plot

Resensi

Keberagamaan yang Sehat dan Matang

Agama nerupakan kenyataan terdekat dan sekaligus terjauh. Begitu dekat karena agama senantiasa hadir dalam kehidupan sehari-hari di rumah, kantor, media massa, pasar dan dimanapun saja kita berada. Begitu misterius karena agama sering kali menampakkan wajah-wajah yang ambigu (tampak berlawanan) memotivasi kekerasan dan solidaritas kemanusiaan, menumbuhkan takhayul dan mengilhami pencarian ilmu pengetahuan, memeikkan peperangan paling keji dan menebarkan perdamaian paling hakiki.

Terkadang kita begitu resah, gelisah, dan tak kunjung mengerti ketika menjumpai seseorang yang tampak begitu religius, rajin beribadah dan terlihat sangat sangat beriman kepada Tunan, namun pada saat sama bersedia melakukan tindakan kekerasan dan bahkan pembantaian terhadap manusia serta sekaligus mencari pembenaran atau mengklaim tindakan tersebut sebagai kebenara. Sebagai contoh, kita tak begitu mengerti mengapa Amrozi yang tampak sangat religius tega untuk ikut andil dalam peledakkan bom mobil di Bali. Pertanyaan kita adalah: benarkah keberagamaan tersebut? Atau dengan pertanyaan lain: sehatkah keberagamaan seperti itu?

Bagaimana kita dapat mengukur dan memahami keberagamaan yang tampak ambigu tersebut? Agama tentu bisa saja dipelajari dari berbagai pendekatan. Namun, dibandingkan dengan pendekatan lain (khususnya teologi) pendekatan psikologi merupakan pendekatan paling manusiawi dan adil.

Psikologi memperlakukan agama bukan sebagai fenomena "langit" yang serba sakral dan transenden, seperti yang menjadi pendekatan teologi. Pendekatan psikologis ingin sepenuhnya membaca keberagamaan sebagai fenomena yang manusiawi dan menukik ke dalam proses-proses kejiwaan yang memengaruhi perilaku kita dalam beragama. Psikologi, karena itu, memandang agama sebagai perilaku manusiawi yang melibatkan siapa saja, agama apa saja, dan di mana saja. Pendekatan psikologis terhadap agama ini yang coba dilakukan Kang Jalal (panggilan akrab Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat) dalam buku terbarunya berjudul Psikologi Agama: Sebuah Pengantar.

Dengan studi kepustakaan yang ekstensif dan analisis yang tajam atas berbagai fenomena keagamaan yang berkembang, buku Psikologi Agama karya kang Jalal memberi kita petunjuk untuk mengukur dan memahami keberagamaan kita. Inilah buku paling serius dan ilmiah yang pernah ditulis seorang cendekiawan Muslim tentang psikologi agama.

Sigmund Freud, bapak psikologi modern, dalam bukunya The Future of An Illusion mengatakan bahwa pada dasarnya motivasi beragama berasal dari ketakberdayaan manusia melawan kekuatan-kekuatan alamiah di luar dirinya dan kekuatan naluriah dari dalam dirinya. Agama timbul karena mansua belum mampu mempergunakan kekuatan diri dan akalnya secara maksimal.

Dalam pandangan Sigmund Freud, keberagamaan seperti di atas sebagai sesuatu sikap mirip dengan "neurosis obsesional" yang menjangkiti orang beragama. Agama, kata Freud, adalah suatu ilusi yang sengaja diciptakan manusia dalam rangka mengatasi berbagai macam problem psikologis yang menyedihkan seperti rasa frustrasi, depresi, narsisme atau rasa bersalah yang dihadapi manusia (hlm 41).

Freud sebenarnya sedang menyuarakan suatu keprihatinan etis: bahwa dengan beragama menusia sebenarnya bisa jatuh dalam suasana patologis, khususnya kalai akalnya tidak dipakai sebagai jalan mengembangkan kesadaran beragama. Ia merasa berkewajiban untuk menyembuhkan umat manusia dari "gangguan kejiwaan" yang bernama agama (hlm 11).

Freud mengatakan, orang beragama sering beradana dalam situasi feeling of powerlessness (perasaan ketergantungan). Menurut Freud, dengan the feeling of powerlessness itu, orang tidak akan pernah sampai pada kedewasaan beragama, justru karena gagal membangun otonomi dirinya sendiri sebagai manusia. Mengapa? Karena the feeling of powerlessness pada hahikatnya berlawanan dengan apa yang dalam tradisi keagamaan disebut sebagai religious feeling (perasaan keberagamaan), yang selalu ditandai dengan tujuan perkembangan spiritual manusia dalam cita-cita pencapaian kebenaran (reason, truth, logos), cinta-kasih-persaudaraan (brotherly-love), mengurangi penderitaan (reducing of suffering) dan sebagai jalan mendapatkan kebebasan dan tanggung jawab sosial manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini.

Menafsirkan Freud dengan cara ini seperti diakukan Kang Jalal, akan membawa kita pada sudut pandang lain terhadap psikoanalisis, yang selama ini dalam hampir semua buku filsafat agama sering dilihat hanya secara negatif: bahwa psikoanalisis Freud menyuarakan ateisme. Padahal, justru sebaliknya: Dilihat dari sudut etis, Freud--dengan cara psikoanalitisnya itu--sebenarnya sedang menyuarakan suatu keprihatinan atas penggusuran hakikat agama, yaitu religious feeling, oleh perasaan yang tak terkendali, yang dianggap orang beragama sebagai "agama". Lewat analisis Freud, kita bisa melihat hubungan manusia psikologis dengan manusia spiritual, hubungan antara makna psyche pada zaman dahulu dan zaman modern (hlm 95). Keprihatinan Freud ini, secara implisit juga menunjukkan model keberagamaan yang tidak sehat. Lantas apakah keberagamaan yang sehat?

Erich Fromm, dalam bukunya Pscychoanalysis and Religion, menyebutkan agama sebagai sistem yang memberikan manusia kerangka orientasi dan obyek pengabdian. Agama adalah "suatu pandangan dunia" (world view) atau cara dalam melihat dunia ini. Dua orang yan sama-sama mengaku beragama tetapi yang satu mengalami kemandekan dalam perkambangan rohani dan lainnya sampai pada perkembangan yang matang, pasti akan mempunyai pandangan dunia yang berbeda.

Mungkin yang satu akan melihat Tuhan sebagai zat yang Maha Kuasa dan selalu menghukum umatnya yang tidak taat, seperti anak kecil yang melihat orang tuanya dalam gambaran Freud (menjadi orang yang terbelenggu dalam otoritas hukum). Yang lain mungkin melihat Allah sebagai simbol cermin pribadi yang harus dituju setiap manusia. Yang terakhir inilah model keberagamaan yang sehat menurut Erich Fromm.

Jika tujuan pokok beragama adalah pencapaian perkembangan rohani dalam diri manusia dan jika Freud menggambarkan suau keadaan "neurosis obsesional" dalam diri orang beragama, maka sebenarnya ia sendang menggambarkan suatu fenomena orang-orang gagal mencapai perkembangan rohani itu. Dengan kata lain, apa yang tidak dikatakan dalam teorinya tentang agama, secara implisit sebenarnya sedang dicari bentuk-bentuk beragama yang sehat dan matang secara psikologis. Atau bisa dikatakan, Freud sebenarnya sedang berbicara mengenai hakikat agama sebagai penyembuhan ruhani (cure of the soul).

Buku yang ditulis Kang Jalal ini sangat menarik dan menantang wawasan serta perilaku keagamaan kita selama ini. Sangat menarik karena di tangan Kang Jalal yang pakar komunikasi ini, tema yang kompleks tentang psikologi agama seakan tak pernah kehilangan relevansi dan pesonanya.

Teori-teori yang rumit dari Sigmund Freud, William James, BF Skinner hingga W Alport, dia kemas dengan bahasa yang mudah dimengerti, sederhana dan segar. Kita pun ditantang untuk mengukur sejauh manakah keberagamaan kita: sehatkah atau sudah matangkakah? Selain itu wawasan keagamaan kita bertambah dengan membaca buku Psikologi Agama ini. Kita akan ditunjukkan betapa pentingnya psikologi dalam agama,
sebagaimana dikatakan Kang Jalal, "tanpa bantuan psikologi, para tokoh agama akan salah melakukan diagnosis, dan karena itu juga tidak membantu umatnya".

Itulah salah satu pendapat Kang Jalal dalam bukunya ini, seraya mengutip pertanyaan Van Deusen Husinger tentang perlunya agama menggandengan psikologi untuk "menyelamatkan" domba-domba yang tersesat."

Credits

Editor Juman Rofarif

Details

Printing 1
First Edition Yes

Personal

Owner Mustamin al-Mandary
Location Balikpapan
Quantity 1
Read
Index 41
Added Date May 29, 2014 04:51:58
Modified Date Nov 05, 2023 09:14:56

Value

Purchased May 05, 2010 at Gramedia Semanggi for $ 35000.00
Condition Sangat Bagus

Notes


Agama adalah kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat: Ia senantiasa hadir dalam kehidupan kita sehari-hari--di rumah, kantor, media, pasar, di mana saja. Begitu misterius: Ia menampakkan wajah-wajah yang sering tampak berlawanan--memotivasi kekerasan tanpa belas atau pengabdian tanpa batas; mengilhami pencarian ilmu tertinggi atau menyuburkan takhayul dan superstisi; menciptakan gerakan massa paling kolosal atau menyingkap misteri ruhani paling personal; memekikkan perang paling keji atau menebarkan kedamaian paling hakiki.

Buku ini mencoba menyingkap misteri terjauh dan kenyataan terdekat itu dalam proses-proses kejiwan manusia...

Bagaimana kita dapat memahami agama yang begitu kompleks? Agama tentu saja dapat dipelajari dari berbagai pendekatan--Anda boleh memilihnya. Tetapi, dibandingkan dengan pendekatan lain (terutama teologi), pendekatan psikologi adalah yang paling menarik dan manusiawi. Mengapa?

Psikologi memperlakukan agama bukan sebagai fenomena langit yang serba sakral dan transenden--biarlah itu menjadi lahan teologi. Ia ingin membaca keberagamaan sebagai fenomena yang sepenuhnya manusiawi. Ia menukik ke dalam proses-proses kejiwaan yang mempengaruhi perilaku kita dalam beragama, membuka "topeng-topeng" kita, dan menjawab pertanyaan "mengapa". Psikologi, karena itu, memandang agama sebagai perilaku manusiawi yang melibatkan siapa saja dan di mana saja.

Dengan studi kepustakaan yang ekstensif dan analisis yang tajam atas berbagai fenomena keagamaan yang berkembang, buku ini mengawali senarai studi Psikologi Agama yang ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat. Cendekiawan terkemuka ini mengajak pembaca memahami berbagai fenomena keberagamaan itu dengan perspektif yang kaya, ilmiah, dan juga manusiawi.

Di tangan sang ahli komunikasi, tema yang kompleks tetapi tak pernah kehilangan relevansi dan pesona ini, dapat dikemas dengan bahasa yang mudah dimengerti, segar, dan cerdas.